Persimpangan Cairo - London; Sebuah Batas Antara 1 Jam dan 60 Menit


Dalam sebuah ceramah kerohanian di suatu Kampus Universitas Islam Swasta, Bapak KH Hasan Abdullah Sahal (Pimpinman Pondok Modern Darussalam Gontor) mendapat pertanyaan dari salah seorang mahasiswa, pertanyaannya cukup simple namun terkesan rumit dan mendesak, pertanyaan tersebut adalah : “ Pak Kiyai adakah ayat Al Qur’an yang memerintakahkan manusia untuk menghargai waktu yang dimilikinya? Bila kita telisik potret masyarakat Barat terkesan lebih menuhankan waktu daripada tuhannya sendiri? Apakah islam juga mengajarkan hal yang sama akan penghargaan sebuah waktu? Terlihat kerutan di dahi Bapak Pimpinan tatkala dihadapkan dengan pertanyaan ini, nampaknya sang mahasiswa memiliki daya kritis dan rasa ingin tahu yang cukup tinggi, senyum tipis Bapak KH. Hasan Abdullah Sahal turut menjadi saksi saat beliau menjawab dengan begitu tenangnya, “nak bolehkah saya bertanya dahulu sebelum saya jawab pertanyaan kamu?” mahasiswa berkulit sawo matang itu menjawab “boleh pak kyai” pak hasan melanjutkan : “nak! Dimanakah kamu menempuh pendidikan dasar? Di SD kah? Atau MI? “Mahasiswa tersebut menjawab “ di MI pak Yai” kemudian pak Hasan menjawab dengan sangat tenang tampaklah dari sini kewibawaan seorang pimpinan dari cara bertuturnya “nah sekarang dengarkan baik baik, ayat al qur’an yang kamu tanyakan sangatlah familiar di telinga kamu sampai sampai kamu membacanya tiap hari sebelum ibu guru mengizinkanmu pulang untuk menikmati makan siang orang tuamu dirumah, ya’ benar sekali, ayat itu adalah permulaan surat al kautsar yang berbunyi, “wal Ashry……….” Begitu agungya akan pernghargaan sebuah waktu, hingga Allah bersumpah atas nama waktu, dan masih banyak lagi permulaan ayat al qur’an yang mengindikasikan akan penghargaan sebuah waktu, bahkan surat tersebut dinamakan dengan bagian dari waktu, seperti wallaili, (permulaan surat al lail), wad dhuhaa (permulaan surat ad dhuha), jikalau sesuatu yang namanya waktu begitu remeh dimata Islam, mengapa Allah SWT mengawali beberapa suratnya dengan bersumpah atas nama waktu? Banyak lagi ayat Al qur’an yang mengintruksi kita supaya bertindak begitu sigap dan cermat dalam segala hal salah satunya adalah: wa idzaa faroghta fan shob wa ilaa robbika far ghob” sangat jelas disini instruksi Allah SWT terhadap manusia untuk memanfaatkan seefektif mungkin waktu yang dimilikinya agar di kemudian hari tidak binasa dan tergilas oleh waktu.

Unik memang jika kita mencermati dinamika masyarakat mesir, interpretasi dari bukroh dan ba’da usbhu’ jauh melenceng dari makna harfiahnya, bukroh yang secara harfiah berarti esok hari mengalami penyimpangan makna yang cukup mendasar, bukroh bias berarti satu minggu atau bahkan satu bulan, bila bukroh saja bermnakna satu minggu, bisa dibayangkan berapa bulan arti dari usbu’? Nampaknya ini sudah bukan lagi sebuah “secret prifacy” dan telah berevolusi menjadi hukum adat, sebagaimana tersebut dalam kaidah dasar ushul fiqh; “al aadah muhakkamah” berjubelnya kafe di setiap sudut kota mengindikasikan akan kegemaran warga dalam menghamburkan waktu yang ada, hingga “nongkrong sambil menikmati secangkir the panas dengan sisha rasa tuffah menjadi pilihan alternative dalam mengisi kekosongan, berawal dari sini pula pengamat perkembangan Negara menjatauhkan klaim yang begitu miris terhadap mesir tentang stagnansi Negara yang tak berkembang padahal telah berumur ribuan tahun, sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara “seumur jagung” yang sangat menghargai makna sebuah waktu; kita ambil contoh sebuah Negara beriklim subtropis di Eropa yaitu Inggris, pemandangan pejalan kaki berjas dan berdasi yang berjalan tergesa gesa sesekali melirik ke arah jam tangan sudah biasa di saat jam jam sibuk, janji akan kehadiran pada waktu yang disepakati menjadi sebuah kontrak tak tertulis yang sungguh sebuah kenaïfan jikalau sampai tak terpenuhi, penulis sempat dibuat tercengang dan meringis tatkala dengan jelas terbukti tidak mampu membayar sebuah hutang janji ketepatan waktu, yang dimana penulis terlambat 10 menit dari waktu yang disepakati, nampaknya hukum adat ketepatan waktu telah berlaku dan mendarah daging di negeri yang menjadi patokan standar waktu internasional, satu jam berarti 60 menit dan saru menit terdiri dari 60 detik tidak lebih dan tidak kurang! Inilah yang tertanam dalam diri tiap individu yang dimana hukum adat tentang ketepatan sebuah waktu berlaku. Berbeda dan sangat jauh berbeda dengan negri Seribu Menara, makna satu jam, bukroh, dan bakda usbu’ masih kabur bahkan tidak jelas!!

Dampak dari tafsir bukroh dan bakda ushbu’ sedikit tidak turut mempengaruhi aktivitas mahasiswa kairo dalam memahami waktu, acara dengan undangan bakda dhuhur berarti dimulai bakda ashar, undangan ba’da ashar dimulai setelah maghrib atau bahkan setelah isya’ baru dimulai, begitu pula seterusnya, seorang teman penulis yang baru tinggal satu bulan di kairo menceritakan pengalamannya dalam menghadiri sebuah acara, waktu acara tertulis di pamphlet jam 4 sore, dikala itu dia telah terlambat setengah jam, karena takut terlambat dia rela merogoh saku lebih guna naik taksi dengan harapan dapat menghadiri acara tepat waktu, namun dia tercengang sesampainya ditempat tujuan, jangankan acara dimulai, background acarapun belum terpasang!, pengunduran waktu acara dari jadwal yang tertulis di kertas undangan ataupun pamphlet iklan mungkin bisa dipahami dengan adanya beberapa kendala transportasi dan lain sebgainya, namun tentunya kita berharap adat yang telah menjadi hukum ini tidak terbawa pulang ke tanah air, bias kita bayangkan jika seorang alumni universitas ternama di dunia menghadiri undangan setelah sholat maghrib sementara di kertas undangan tertulis bakda dhuhur, runtuhlah citra azhary yang telah dibangun sedemikian rupa oleh para alumnusnya.

Mungkin anda teringat teori relativitas waktu yang dicetuskan oleh Albert Enstein, seorang ilmuwan ternama yang menyesal karena telah menemukan tenaga nuklir dikarenakan penemuannya digunakan untuk memusnahkan penduduk Hiroshima dan Nagasaki 68 tahun silam, sampai sekarangpun para fisikiawan masih mengerutkan dahi, kebingungan akan teori yang belum terpecahkan hingga detik ini, begitu berharganaya makna sebuah waktu dimata mereka hingga tercetus teori khusus tentang waktu, tulisan ini tidak menuntut pembaca supaya mencetuskan teori waktu dari sisi lain, namun setidaknya kita mampu menjadikan kaum lain sebagai cerminan akan penghargaan sebuah waktu

*Diterbitkan di buletin informatika edisi 132 15 Maret - 30 maret 2008

Saturday, March 15, 2008